Jumat, 13 November 2015

Petualangan Nimo di Dunia Kurcaci

0


Petualangan Nimo di Dunia Kurcaci
oleh kevin

 
Pagi itu masih dingin, Nimo mendengar Neneknya memanggil dan menyuruh dia untuk segera bangun.
“Nimo bangun!”, Nenek memanggil sambil mengetuk pintu kamar Nimo.
“Iya Nek….,” jawab Nimo sambil menyingkirkan selimut yang masih dia pakai.
Segera Nimo langsung berdiri dan berjalan membuka jendela kamarnya yang masih tertutup, ketika jendela kamar Nimo terbuka, banyak sekali Kecoa yang berlarian kesana kemari. Maklum Nimo adalah anak yang malas untuk membersihkan kamarnya, buku-buku, pakaian kotor dan mainannya berserakan di lantai, sehingga banyak Kecoa di kamar Nimo. Salah satu Kecoa hinggap di tubuh Nimo, Nimopun langsung berteriak dan berlari keluar dari kamarnya.

“Nenek, Tolong…!!,” teriak Nimo.
“Ada apa Nimo, pagi-pagi kamu sudah teriak-teriak?,” jawab Nenek sambil menyiapkan sarapan.
“Ada Kecoa Nek di kamar, terus tadi hinggap ke tubuhku,” jawab Nimo sambil melihat ke tubuhnya untuk memastikan apakah Kecoa itu masih ada apa sudah pergi.
“Salahmu sendiri, malas merapikan kamarmu makanya jadi banyak Kecoa, sudah sana mandi!, nanti kamu terlambat kesekolah,” Jawab Nenek sambil memberikan handuk kepada Nimo. Nimopun segera pergi menuju ke kamar mandi yang terletak tak jauh dari kamarnya.

Selesai mandi, Nimo langsung pergi menuju kamarnya untuk bersiap-siap pergi ke sekolah, dengan rasa takut terhadap kecoa Nimo mulai membuka pintu kamarnya secara perlahan, “Ah…aman, untung Kecoanya sudah tidak ada lagi,” Nimo berkata di dalam hatinya. Nimo pun bergegas memakai seragam sekolahnya dan menyiapkan buku-buku pelajaran kemudian dia masukan ke dalam tas sekolahnya. Selesai bersiap-siap, Nimo langsung menuju ke meja makan, di sana Nenek sudah menunggu Nimo untuk sarapan. Nenek sudah menyiapkan Roti Bakar untuk Nimo berserta segelas susu pada pagi itu.
Nek…kenapa yah di kamarku banyak Kecoa?” tanya Nimo kepada Nenek. Nenek menjawab dengan tersenyum, “ Salahmu sendiri, Sudah besar masih malas membersihkan kamarmu, ingat besok kamu sudah berumur 8 tahun”.

“Iya Nek… hehehe, ternyata Nimo sudah besar yah Nek? Besok sudah 8 tahun umur Nimo, tapi rasanya malas untuk membersihkan kamar Nimo,” jawab Nimo sambil menyelesaikan makannya.
“Dasar kamu anak malas, ingat perkataan Ayahmu, Jadi anak laki-laki tuh harus rajin,” jawab Nenek.
“Iya Nek, Nimo kangen Nek sama Ayah, terakhir Nimo bersama Ayah, Nimo di ceritakan tentang petualangan Ayah  mengambil emas di Afrika dan tentang Dunia Kurcaci, Ayah juga berjanji akan mengajakku pergi ke Dunia Kurcaci,” jawab nimo dengan sedih.
“ Sudah-sudah itu semua hanya karangan Ayahmu, Dunia Kurcaci itu tidak ada itu semua hanya dongeng,” jawab Nenek
“Tapi Ayah tidak akan berbohong ke Nimo Nek, Nimo percaya dengan semua yang Ayah katakan, Ayah juga sudah memberikan bukti bahwa Dunia Kurcaci itu ada, di buku yang Ayah berikan ke Nimo saat ulang tahun Nimo yang ke 7 tahun lalu ada foto Putri Kurcaci yang cantik, namanya Cici,” jawab Nimo sambil menyangkal perkataan Nenek
“Iya…iya Nenek percaya dengan perkataanmu, sudah sana berangkat sekolah nanti kamu terlambat lagi,” jawab Nenek sambil memberikan tas sekolah ke Nimo
“Iya Nek, Nimo berangkat,” jawab Nimo dengan suara yang lemah. Nimopun langsung pergi menuju ke sekolahnya yang terletak tidak jauh dari rumahnya.

Dalam perjalanan, Nimo teringat semua hal tentang Ayahnya yang pergi satu tahun yang lalu untuk mengambil Emas yang diperoleh di Afrika yang dia simpan di Dunia Kurcaci dan sampai sekarang belum juga kembali. Ayah Nimo pergi satu hari setelah Nimo merayakan ulang tahunnya. Ayah Nimo adalah seseorang yang sangat sayang kepada Nimo dan Ibunya yaitu Nenek Nimo. 
Sampai di sekolah, Nimo langsung duduk dan melihat buku pemberian Ayahnya, Nimo membuka halaman pertama buku itu, halaman pertama buku itu tertulis sebuah kalimat yang di tujukan kepada Nimo “Nimo, sesuatu yang tidak terlihat itu bisa menuntunmu,” nimo masih belum bisa memahami kalimat yang Ayahnya tuliskan di buku itu. Kemudian Nimo membuka halaman Ke-Dua yang berisi foto Putri Kurcaci yang bernama Cici, di bawah foto Cici si Putri Kurcaci itu tertulis beberapa kata-kata yang berbunyi “mereka memang ada dan aku menitipkan Harta Karunku di Dunia mereka, mereka dekat dengan kita, Bulan Purnama adalah jalan masuk ke Dunia mereka” kata-kata yang tertulis dan foto Cici yang terdapat di buku itulah yang membuat Nimo yakin kalau Dunia Kurcaci itu memang ada. Nimo yakin dia akan menemukan Dunia Kurcaci itu. Halaman selajutnya dari buku itu tidak ada sesuatu yang jelas, tidak ada sesuatu yang dapat Nimo baca, halam itu hanya berisi kertas kosong yang masih bersih. Tidak lama kemudian, Bu Gurupun datang, Nimo pun langsung memasukan buku itu dan siap untuk mengikuti pelajaran yang akan disampaikan oleh Bu Guru. Walaupun Nimo anak yang malas untuk membersihkan kamarnya, tetapi nilai yang Nimo peroleh di sekolah sangat baik, tak jarang dia mendapatkan peringkat Satu di kelas. 
Sekolah pun selesai, Nimo langsung bergegas pulang. Dalam perjalanan pulang, Nimo masih memikirkan Dunia Kurcaci itu. Sesampainya di rumah, Nimo langsung menuju ke kamar dan ketika Nimo membuka pintu kamarnya, kejadian yang sama tentang Kecoa terulang lagi. Banyak kecoa berlarian kesana kemari, Nimo pun langsung pergi karena ketakutan melihat Kecoa-kecoa itu dan mengambil buku pemberian Ayahnya yang dia simpan di dalam tas, kemudian Nimo lemparkan tas itu ke tempat tidurnya. Akhirnya Nimo pergi dari kamarnya sambil membawa buku itu menuju ke kamar Ayahnya. Di sana Nimo berfikir mencari tahu arti dari kata-kata yang ada di dalam buku itu. Hingga tak terasa Nimo telah menghabiskan banyak waktu di sana. Haripun mulai gelap, karena lampu kamar itu mati, akhirnya Nimo mengambil sebatang lilin yang berada di Dapur dan kemudian Nimo bawa ke kamar Ayahnya. Dinyalakan lilin tersebut, Ketika Nimo akan melanjutkan membaca buku itu, tiba-tiba Neneknya memanggil Nimo. “Nimo…makan malam dulu!” teriak Nenek, “Iya Nek…,”jawab Nimo. Nimo pun langsung keluar dari kamar Ayahnya dan menuju ke meja makan, sampai di meja makan, Nimo langsung memakan makanan yang sudah Nenek siapkan dengan tergesa-gesa. “Makannya yang pelan Nimo, tidak baik,” kata Nenek kepada Nimo, Nimo pun menjawab dengan mulut penuh makanan, “Iya Nek”. Tidak lama kemudian Nimo pun sudah seleseai makan malam, Nimo langsung menuju ke kamar Ayahnya, sambil berlari Nimo berkata kepada Neneknya,”Nek..Nimo akan tidur cepat malam ini, Nimo tidur di kamar Ayah”.

Sesampai di kamar Ayahnya, Nimo kembali melanjutkan membaca buku itu, lilin pun kembali dinyalakan. Nimo mendekatkan buku itu ke lilin, agar cahaya lilin dapat menerangi Nimo saat membaca dan ketika Nimo membuka halaman kosong di dalam buku itu, ternyata halaman itu tidak lagi kosong, terdapat gambar peta dimana letak Dunia Kurcaci dan cara masuk kedalam Dunia Kurcaci itu. Nimo heran melihat halaman yang mulanya kosong, tetapi sekarang sudah berisi sebuah gambar peta, Nimo penasaran apa penyebab semua itu, ketika Nimo menjauhkan buku itu dari lilin dan ternyata gambar peta itu hilang dan ketika dia dekatkan gambar itupun muncul lagi. Akhirnya Nimo sadar dengan pesan Ayahnya kepada Nimo di buku itu, ternyata peta dalam buku itu di gambar dengan tinta yang dapat dilihat apabila ada cahaya lilin. Berkat peta itu, sekarang Nimo sudah tau dimana letak Dunia Kurcaci dan bagaimana cara masuk ke Dunia Kurcaci itu. Nimo pun berencana besok pagi dia akan mempelajari peta itu karena besok tepat hari Minggu dan malam harinya dia akan memulai petualangannya menuju Dunia Kurcaci. Nimo pun langsung bergegas untuk tidur dan dia tak sabar akan hari besok, karena Dunia Kurcaci yang ingin dia datangi  akan dapat  Nimo kunjungi dan besok Nimo juga  akan  berumur 8 tahun. 

Pagi pun datang, Nimo langsung bangun dan menuju ke ruang tamu. Di ruang tamu, roti ulangtahun yang sudah di siapkan Nenek sudah terletak di atas meja berserta lilin yang sudah menyala. Nimo pun merasa sangat senang, Nimo mendekati roti ulang tahun itu, dan Nenek datang dari kamar membawa sebuah kado. “Cepat Nimo tiup lilinnya, dan mintalah sebuah keinginanmu,” kata Nenek, Nimo segera meniup lilin itu dan menyebutkan keinginannya, Nimo ingin agar ulangtahun berikutnya Ayahnya bisa ada untuk merayakan bersama ulangtahun Nimo. Setelah itu, Nimo membuk kado yang dia dapat dari Neneknya. Kado itu berisi sebuah Lensa Pembesar yang ternyata sudah di siapkan oleh Ayahnya sebelum Ayahnya pergi, Nimo sangat senang dengan hadiah itu. Selesai Nimo merayakan ulangtahunnya, Nimo bergegas menuju kamar Ayahnya untuk mempelajari peta yang ada di buku itu.

Hari itu pun Nimo hanya berada di kamar Ayahnya, banyak waktu yang dia habiskan untuk mempelajari peta tersebut. tidak sia-sia Nimo menghabiskna banyak waktu untuk mempelajari peta itu, akhirnya dia tahu jalan menuju ke Dunia Kurcaci. Ternyata pintu masuk menuju Dunia Kurcaci terletak pada Pohon Rambutan yang berada di depan rumahnya dan pintu menuju ke Dunia Kurcaci terbuka ketika cahaya bulan tepat berada di atas lobang kecil yang terletak di bagian Pohon Rambutan itu. Ternyata semua yang tertulis di buku itu benar, tetapi hanyan disampaikan secara tidak langsung oleh Ayahnya. Nimo pun segera bersiap-siap untuk melakukan petualangannya nanti malam.

Malam hari pun telah datang, setelah Nimo selesai makan malam bersama Neneknya, Nimo kembali ke kamar Ayahnya dan melihat ke jendela, ternyata Bulan Purnam telah muncul pada malam itu. Ketika Nenek sudah tertidur, Nimo diam-diam keluar dari rumah dengan hanya membawa Lensa Pembesar itu yang Nimo harap akan membawa sebuah keberuntungan. Nimo langsung menuju ke Pohon Rambutan yang ada di depan rumahnya, dan dia mencari lubang kecil yang ada di pohon rambutan itu, lumayan lama Nimo mencari lubang kecil pohon itu dan akhirnya lubang itu berhasil Nimo temukan, tetapi Cahaya Bulan Purnama tidak tepat berada di lubang yang berada di pohon rambutan. Nimo pun mencari cara agar Cahaya Bulan Purnama bisa tepat berada di atas lubang itu. Setelah lama berfikir, akhirnya Nimo berhasil menemukan cara untuk mengarahkan Cahaya Bulan Purnama, Nimo mengeluarkan Lensa Pembesar yang dia dapatkan tadi pagi, dan ternyata Cahaya Bulan Purnama dapat Nimo pantulkan, segera Nimo mengarahkan Lensa Pembesar ke arah lubang yang berada di Pohon Rambutan, ketika Cahaya Bulan Purnama berhasil Nimo arahkan tepat ke atas lubang yang berada di Pohon Rambutan, Pohon Rambutan itu bergetar dan terbukalah sebuah pintu dari balik Pohon Rambutan. Ternyata Lensa Pembesar itu benar-benar membawa sebuah keberuntungan, pintu menuju ke Dunia Kurcaci sekarang sudah ada di depan mata, Nimo segera bergegas masuk kedalam pintu itu. Dengan perasaan sangat senang Nimo mulai melangkahkan kakinya masuk kedalam dan apa yang terjadi, Nimo berubah menjadi Kurcaci, Nimo berubah menjadi manusia yang kecil. Nimo kaget dengan perubahan itu, kabut putih menutupi penglihatan Nimo dan setelah kabut putih itu hilang, Nimo tidak percaya dengan apa yang dia lihat. Nimo melihat sebuah kerajaan yang rakyatnya adalah para Kurcaci yang Ayahnya ceritakan, Nimo masih tidak percaya dengan semua hal yang dia lihat sekarang.

Ketika Nimo sedang berjalan-jalan melihat sebuah desa yang dihuni oleh para kurcaci, tiba-tiba dari arah depan Nimo para kurcaci itu berlarian kesana kemari sambil berteriak “Lari-lari..cepat lari,” Nimo pun bingung apa yang terjadi. Ternyata desa itu sedang di serang oleh para Prajurit dari Kerajaan Kecoa, mereka menghancurkan seisi desa dan merusak apapun yang mereka lewati. Hampir saja Nimo menjadi korban para Prajurit dari Kerajaan Kecoa, tetapi seseorang telah menyelamatkannya. Ternyata kurcaci yang menyelamatkan Nimo adalah Cici si Putri Kurcaci yang dia lihat di buku pemberian Ayahnya. Nimo tak menyangka bahwa dia akan bertemu dengan Cici dan diselamatkannya. Nimo pun mengucapkan terima kasih kepada Cici dan mereka saling berkenalan satu sama lain. Cici bertanya kepada Nimo, “kamu tidak apa-apa? Kamu bukan berasal dari dunia kami kan?”
“Iya aku tidak apa-apa, terima kasih telah menyelamatkanku, bagaimana kamu tahu aku bukan berasal dari dunia kalian?” jawab Nimo dengan terkejut
“Sudah kewajibanku sebagai calon pemimpin untuk melindungi rakyatku, iya jelas aku tahu, dulu ada seorang Pria yang datang kemari dan dia membantu kami dengan membuat sebuah saluran air untuk mengairi hasil kebun kami, tapi sekarang dia telah ditahan oleh Kerajan Kecoa” jawab Cici sambil berjalan mengajak Nimo ke Istana.
“Apa..!!? Ayah…, dia ayahku!!” jawab Nimo dengan terkejut karena Ayahnya masih hidup.
“ Jadi ternyata kamu anak dari Pria itu?, cepat kita ke Istana dan temui Raja.

Sesampainya di Istana, Nimo di perkenalkan dengan Raja. Cici menceritakan kepada Raja  bahwa Nimo adalah anak dari Pria yang memabantu Kerajaannya. Nimo di sambut dengan hangat oleh Raja. Setelah Nimo berbincang-bincang dan bertanya tentang Ayahnya yang di tahan di Kerajaan Kecoa. Akhirnya Nimo tahu alasan kenapa Ayahnya tidak kembali kerumah dan Nimo jadi mengerti alasan kenapa Ayahnya ditahan di Kerajaan Kecoa, karena para Kecoa tidak senang akan kebersihan dan semua makanan menyehatkan yang di hasilkan oleh para Kurcaci dengan bantuan Ayah Nimo. Nimo pun berkeinginan menyelamatkan Ayahnya dan membantu para Kurcaci untuk melawan Kerajaan Kecoa, semua Kurcaci membantu dan mendukung apa yang akan Nimo lakukan. Nimo dan Cici akirnya membuat sebuah rencana untuk mengalahkan Kerajaan Kecoa itu. Setelah melakukan perundingan yang sangat lama, akhirnya Nimo dan Cici mulai melaksanakan rencana yang telah mereka susun. Mereka akan menyelinap masuk kedalam Kerajaan Kecoa dan menyelamatkan Ayah Nimo, setelah itu Raja dan Prajuritnya membuka saluran air yang telah di ubah salurannya menuju kerajaan Kecoa itu. Ternyata cara Nimo dan Cici berhasil, akhirnya Nimo kembali lagi bertemu dengan Ayahnya dan Kerajaan Kurcaci sekarang aman dari serangan Kerajaan Kecoa. Raja dan Cici dan juga seluruh warga Dunia Kurcaci berterima kasih kepada Nimo. Nimo beserta Ayahnya segera kembali keluar dari Dunia Kurcaci, karena pintu keluar menuju ke dunia Manusia akan tertutup ktika matahari mulai terbit.
            Nimo dan Ayahnya tepat waktu kembali ke Dunia Manusia, dan pagi itu Nenek terkejut melihat bahwa Anaknya ya itu Ayah Nimo pulang bersama Nimo. Ternyata apa yang Nimo inginkan menjadi kenyataan, ulangtahun tahun depan Nimo dapat merayakan dengan Ayah dan Neneknya. Mulai saat itu, Nimo jadi anak yang rajin membersihkan kamarnya, supaya para kecoa itu tidak lagi muncul untuk menggangu Nimo dan Dunia Kurcaci.

Cerpen Kiriman dari Kevin , siswa SMA jurusan Bahasa Indonesia di daerah yang tidak au dia sebutkan

Patriot Kecil

0



Patriot Kecil
Cerpen Karangan: Angela Purba S
Rima melihat adiknya yang termenung di dekat jendela. Mengentikkan jarinya dari tadi. Sinar matahari yang sudah mulai kelihatan menyinari kepalanya. Muka sang adik tampak sedih. Rima segan bertanya kepada adiknya apa yang terjadi, karena pasti itu hanya membuat adiknya tambah badmood. Tapi, Rima tetap penasaran kenapa adiknya dari tadi hanya disitu. Rima tetap mengurungkan niatnya.
Rima melangkah 4 kali. Jaraknya sama adiknya masih terlalu jauh. Untuk di senggol pun tidak sampai.
Rima maju 4 langkah. Sekarang, jaraknya sama adiknya sudah bisa dibilang dekat. Rima menundukkan kepala melihat sang adik duduk manis di depan jendela.
“Roni, kamu ngapain? Kok dari tadi diam saja? Ada masalah ya di sekolah?” tanya Rima langsung.
“Nggak sih…” jawab Roni. Suaranya masih terdengar halus.
“Terus?” tanya Rima lagi.
Roni memandang Rima, kakaknya. Dari wajah Roni keliahatan bahwa Roni sangat jenuh sekarang.
“Kak, aku ingin jadi Patriot.”
Rima tersenyum. Dia melihat adiknya yang polos situ. Walaupun masih umur 6 tahun, sudah punya impian seperti ini, luar biasa! Batin Rima dalam hati. Dia mengelus kepala adiknya. Rima memandang adiknya penuh.
“Jadi? Apa yang harus dilakukan sama Patriot kecil kayak kamu?”
Roni berpikir sejenak. “Perang?”
Jawaban yang didapat Rima membuat Rima tertawa. Kepolosan sang adik memang tiada duanya.
Rima mengambil 1 kursi yang terletak di pojok dan menaruhnya di samping Roni. Rima merangkul adiknya yang masih memandang pemandangan di luar.
“Perang itu nggak wajib, Ron.” Jawab Rima. “Yang kamu perlu lakukann hanya membuat Negara mu bangga.”
Roni bertanya lagi. “Gimana caranya? Mereka–mereka aja nggak kenal sama aku, kak.”
Rima menjawabnya dengan senyuman. “Nah, buat mereka kenal sama kamu. Tau kamu. Jangan buat orang bertanya siapa kamu. Tapi buat orang menjawab itu kamu. Semua karya tuh butuh perjuangan.” Jawab Rima panjang lebar.
Roni menatap sang kakak. “Terus, Roni harus apa?”
“Roni harus tunjukkan kalau kamu bukan hanya anak biasa dari desa kecil. Tapi anak luar biasa berasal dari desa kecil.”
“Roni tetap nggak ngerti.” Roni melihat kakaknya yang juga sedang menatapnya.
“Roni artinya harus bekerja keras demi membuat Negara kita bangga. Mungkin sekarang emang belum banyak yang tau kamu. Tapi kalau kamu punya niat membuat orang kenal sama kamu, semua itu akan terjadi kok. Lakukan hal positif dan terhormat, itu yang membuat kamu menjadi patriot kecil. Sekarang, ngerti?”
Roni mengangguk paham. Ia tersenyum lebar. Berdiri dari tempat duduknya.
“OKE!!” teriak Roni semangat.
Roni berlari keluar rumah. Membentangkan tangannya yang lebar berasa sedang terbang. Menutup matanya dan berkata dalam hatinya…
“aku lah si Patriot Kecil.”

Dirga di Bulan April

0

Dirga di Bulan April

Suasana udara dingin di pagi buta, seiring dengan kilaunya mentari yang perlahan menampakkan sayapnya, menemani langkah sepasang Kakak-Adik yang perlahan melangkah satu demi satu pijakan. Panas mentari yang begitu menyengat membuat sepasang saudara ini sepakat untuk berteduh sejenak.
“Ya Alloh, hari ini panas sekali ya kak, cape banget rasanya.” kata April memecah keheningan.
“iya nih de, oh ya minum dulun gih” kata Dirga dengan menyodorkan air mineral.
Setelah sejenak beristirahat mereka pun tak ingin berlama-lama lagi dalam perjalanan, mereka pun bergegas melanjutkan perjalanan mereka menuju desa terpencil di sebelah selatan kota Bone, desa itu bernama desa “Bajoe” Perjalanan yang melelahkan itu kini membawa mereka sampai ke tempat tujuan, mereka disambut dengan hangat oleh penduduk setempat. Mereka pun diberi tempat tinggal untuk sementara waktu.
Penduduk setempat umumnya bermata pencarian sebagai nelayan, sumber kehidupan mereka pun berasal dari laut. Penduduk setempat pun sangat ramah, sehingga tak heran April dan Dirga merasa nyaman dan tentram tinggal di desa itu. Kedatangan mereka hanya untuk mencari pengalaman dari penduduk desa tersebut, waktu mereka pun terbatas, mereka hanya memiliki waktu empat bulan di desa tersebut, jadi harus dipergunakan dengan baik. Malam pun tiba, suasana malam pun sangat berbeda dengan di kota, tak terdengar lagi hiruk-pikuk kendaraan yang silih berganti, hanya bunyi jangkrik yang menemani. Dirga dan April duduk terpaku menatap cahaya bintang yang temaram dan hangatnya api unggun yang menyelimuti mereka hingga fajar terbit.
Pagi pun menyapa. Mentari di ufuk timur mengundang perhatian mereka seakan ingin tahu indahnya panorama hari ini.
“kak, lihat deh, indah banget” seraya menunjuk ke arah pantai.
“iya ya, kamu mau ya de kalau aku ambilin?”
“Mmm lebay deh, emang bisa ya kak?”
“bisa aja kalau kamu mau, hehehe” ucap Dirga sambil ketawa.
“Kakak nih sembarangan aja, ayo kita jalan lagi.” seraya menarik tangan Dirga.
“April, kalau begini suasananya Kakak betah tinggal di desa ini lebih lama lagi.”
“April juga pengennya gitu kak, tapi Kakak kan tahu kalau waktu yang dikasih Papa dan Mama cuma empat bulan kan kak? tapi bulan April masih lama kok kak, tenang aja, kangennya ntar lumutan loh.” ucapnya dengan polos.
“iya juga sih de, emangnya kamu sudah kangen ya sama Mama dan Papa?” tanya Dirga.
“kangen juga sih kak, baru dua hari di sini, gimana ntar kalau dua bulan? Bisa-bisa April ngigau terus nih kak.” ucapnya manja.
“dasar anak manja kamu” seraya mengelus rambut April.
Dirga hanya mampu menatap April dengan senyumnya, namun hati Dirga berbisik.
“Aku akan berusaha buat kamu tetap tersenyum April, walau sebenarnya kamu bukanlah adik kandungku, tapi rasa sayang ini melebihi rasa sayangku pada diri sendiri.”
Tiba-tiba April melihat Dirga melamun, dan diam-diam mengagetkannya. “hayoo ngelamunin apaan kak? ntar kesambet loh” seraya menepuk pundak Dirga.
Dirga pun tersentak. “eh gak kok, Kakak gak ngelamun, yuk jalan lagi.” ucapnya dengan santai.
Hari berganti hari, minggu berganti minggu, bulan berganti bulan, kini waktu mereka semakin dekat, namun mereka tidak menyia-nyiakan waktu mereka. Mereka berusaha semaksimal mungkin untuk membantu permasalahan pendududk setempat, sehingga perlahan penduduk mulai hidup rukun dan damai. Suatu ketika di sisi lain entah mengapa Dirga mulai menyukai April, sedangkan ia pun tahu kalau April layaknya adik kandungnya sendiri. Namun perasan itu datang dengan sendirinya, hingga suatu ketika Dirga berusaha mengungkapkan semuanya.
Saat senja pun tiba, mentari yang redup pun menjadi saksi bisu dari percakapan mereka.
“Ada apa kak? sepertinya ada hal penting yang ingin Kakak sampaikan ke saya?” tanya April dengan sikap dinginnya.
“Mmm gini de, tapi kamu harus janji dulu sama Kakak, kamu tidak boleh sedih atau berkecil hati setelah apa yang akan Kakak ceritakan sama kamu.”
“Insya Allah Kakak.”
“Gini de, sebenarnya kita bukan saudara kandung.” kata Dirga memecah keheningan.
“Maksud Kakak apa dengan perkataan itu? apa aku bukan anak dari Mama dan Papa?” tanya April.
“April, waktu kecil kamu diadopsi sama Mama dan Papa ketika umurmu masih dua tahun, karena dulu Mama sangat membutuhkan seorang bayi perempuan, berkat usul dari Papa mereka pun mengadopsimu, April.” jelas Dirga.
Mendengar penjelasan Dirga, April tak kuasa menahan tangisnya, orangtua yang selama ini membesarkannya dengan penuh kasih dan cinta rupanya bukanlah orangtua kandungnya. Hal yang tak pernah terlintas di benak April, tak kuasa menerima kenyataan yang ada, April hanya duduk terpaku dan seakan-akan tatapannya tak lagi memancarkan kebahagiaan, lesung pipi yang biasanya menghiasi setiap senyumannya kini pun tak nampak lagi. Sebenarnya Dirga tak sanggup menceritakan, namun Dirga merasa April sudah sepantasnya mengetahui hal tersebut. Sebab selama apapun dan sampai kapanpun orangtuanya menyembunyikan hal itu, maka akan lebih menyakitkan buat April nantinya.
Dalam benak April pun berkecamuk, muncul seribu satu macam pertanyaan di hatinya. “Apakah aku dilahirkan tanpa seorang Ayah dan Ibu?”
Walaupun seperti itu kenyataannya April tak ingin terus menmerus larut dalam kesedihan, walau Mama dan Papanya itu bukanlah orangtua kandungnya, tapi buat April merekalah harta satu-satunya yang ia punya. Tanpa kasih sayang dari mereka, tanpa didikan dari mereka, mustahil April bisa menjadi wanita Salehah seperti sekarang ini. April pun beranjak dari lamunannya, seraya berkata.
“Kakak, April ikhlas menerima kenyataan kalau Mama dan Papa bukanlah orangtua kandung April, toh itu tidak merubah rasa sayangku ke mereka”
“terima kasih Adikku, kamu akan tetap menjadi bagian dari keluarga kami” kata Dirga.
Mereka pun kembali ke rumah, dan keesokan harinya April memutuskan untuk pulang, tentunya keputusan April untuk pulang jauh dari apa yang mereka rencanakan sebelumnya. Dirga heran dengan keputusan April untuk pulang secepat ini, namun Dirga paham apa yang betul dengan keputusan April. Dengan langkah pelan Dirga mendekati April.
“Apa kamu yakin dengan keputusan kamu ini?” tanya Dirga dengan suara pelan.
Seraya menyeka air matanya, “Insya Allah kak,”
“Bakilah, jangan nangis lagi ya, hari ini juga kita pulang dan akan kita bicarakan baik-baik sama Mama dan Papa.”
Hari itu juga mereka berpamitan dengan penduduk setempat, isak tangis warga mengantar kepergian mereka, penduduk berharap kiranya Dirga dan April dapat berkunjung ke desa itu lagi. Di tengah perjalanan mereka, datang sebuah mobil sedan yang akan menjemput mereka. Sampailah mereka di rumah, orangtua mereka sudah menanti mereka sedari tadi. Tanpa basa-basi April langsung memeluk kedua orangtuanya. Dan di saat itu pula April meminta penjelasan dari kedua orangtuanya.
Sehingga terjawab sudah semua pertanyaan di benak April, ia pun lega bahwasanya dirinya adalah anak dari yatim yang beruntung mendapatkan orangtua yang amat menyayanginya.
Sebulan berlalu, suatu ketika Dirga merasa perasaannya terhadap April semakin dalam, sulit baginya untuk memendam hal itu, dan pada akhirnya Dirga memberanikan diri untuk mengatakannya kepada April. Dengan perlahan mendekati April, Dirga mengungkapkan perasaannya, April terkejut akan pernyataan sosok yang ada di hadapannya itu, yang tidak lain dan tidak bukan Kakaknya sendiri. Sejenak terdiam tanpa sepatah kata pun April berusaha tenang dalam mengambil sikap, seraya menghela napas April pun berkata.
“Sejak kapan Kakak memiliki rasa itu terhadapku? Dan jika Mama dan Papa tahu, apakah mereka akan merestui hal ini kak?” tanya April.
“Salahkah jika aku menyukaimu? sedang pula kita bukan saudara kandung, entah mengapa perasaan ini selalu saja menghantuiku. Tidakkah kamu memiliki rasa yang sama terhadapku April?”
“Tidak kak, hal ini gak boleh terjadi, aku menganggap Kakak seperti saudara kandungku sendiri, aku gak mau merusak keluarga ini lagi dengan adanya rasa cinta Kakak ke aku.” jelas April.
Mendengar jawaban April, Dirga merasa terpuruk, dia berusaha menceritakan hal itu kepada orangtuanya, namun hanya mendapat tentangan dari mereka dengan alasan dirinya dan April adalah saudara, dan sampai kapan pun akan tetap mnjadi saudara.
Kini kalender pun berganti posisi, tibalah bulan April, yang dimana bulan itu adalah bulan kelahiran April. Mengapa Dirga harus ada di bulan April? mungkinkah semua rasa ini hanyalah sebuah retorika kehidupan? Itulah Cinta, terkadang cinta datang di saat kita enggan untuk berkata siap, dan ketika kita siap mencari di manakah cinta itu? untuk siapakah gerangan? dan sampai kapan kita harus menunggunya di saat hati ini berkecamuk? Tak ada yang mampu menjawabnya, maka di situlah kita tunjukkan seberapa besar sikap kita dalam bertawakal, menanti cinta dari Allah yang merupakan Anugerah terbesar dalam hidup ini, dan hanya satu kata yang mampu menjawabnya “Wallahualam.”
Sekian
Cerpen Karangan: Afrilian Hasyimahsyazwan
Sumber: http://cerpenmu.com/

Kado Spesial

0

Kado Spesial

Yuhanis Abdullah. Remaja perempuan yang sebulan lalu menginjak 18 tahun. Sweet eighteen!! Kamis minggu lalu menyelesaikan ujian nasional. Rasa melayang di udara ketika ke luar dari ruang kelas yang dilengkapi CCTV itu. Bagaimana tidak? Harus duduk tenang menghadap soalan yang tidak mudah tapi tidak pula susah, sangat berbanding terbalik dari kebiasaan yang tak bisa diam. Apapun hasil ujian nanti, yang terpenting sudah melakukan yang terbaik.
Hari ini minggu. Saatnya untuk bermalas-malasan di tempat tidur tanpa ada seorang pun yang mengganggu. Papa Mama akan tiba dari Bogor nanti siang, so masih ada waktu. Ini adalah ceritaku. Yuhanis Abdullah. Remaja perempuan yang terlahir dari orangtua campuran Indonesia-Malaysia. Ibuku asli Indonesia, dan Ayahku Malaysia. Dan ceritaku ini dimulai dari…
Kring! Kring! Kring! Aku yang masih enak-enakan di tempat tidur dikejutkan dengan bunyi alarm memekakkan telinga. Aku ingat betul, aku tidak menyetel alarm. Lagi pula untuk apa aku menyetel alarm padahal aku ingin tidur sampai siang. Tapi siapa pula yang mengganggu tidurku ini? Kring! Lagi-lagi bunyi alarm dan kedengaran semakin nyaring. Seseorang pasti menaruh benda itu di dekat telingaku. Huh dasar. Aku menutup telinga hingga suara alarm terdengar samar-samar.
Tidak puas mengganggu dengan alarm, seseorang yang jelas sangat menyebalkan itu menyibak selimut yang menutupi tubuhku. Dengan sekuat tenaga dan kesal yang memuncak, aku menarik kembali selimut dan berbaring membelakangi. Orang menyebalkan itu pasti Bibi Asih. Meski pun dia pembantu di rumahku, tapi Bibi sudah ku anggap seperti bibiku sendiri. Bibi memang sering membangunkanku tidur, tapi untuk hari ini seharusnya Bibi tahu aku ingin bermalas-malasan di kamar. Selimutku ditarik lagi, tapi aku menahannya.
“Bi, Anis masih mau tidur. Jangan gangguin dong!” jeritku dari balik selimut doraemon. Bibi tidak menjawab untuk waktu beberapa detik, aku harap Bibi sudah benar ke luar agar aku bisa melanjutkan tidurku dengan tenang, tapi selimutku ditarik lagi. Tidak hanya selimut, tubuhku yang kecil ini juga ditarik-tarik.
“Hoy bangon! Kau kata dah exam, kau boleh tidur sampai siang? Bangoon…”
Suara itu, suara itu, aku dengar dengan jelas suara itu. Suara yang sudah lama aku rindukan, yang selalu memanggil nama lengkapku.
“Yuhanis Abdullah. Bangonlah!! Nak kena simbah air baru kau nak bangon? Aku hitung sampai 5, kalau tak bangon juga, siap lau!!”
1 2 3 4 4,9 , sontak aku bangun dan mendapati lelaki jangkung memakai t-shirt biru dan celana jeans selutut sudah berdiri di samping ranjang tidurku. Lelaki itu memandangku lekat. Aku pun berbalik menatapnya lekat. Jauh daam lubuk hati, aku tak percaya dengan apa yang aku lihat sekarang. Mimpikah ini?
“Pandai pun takut,” kata lelaki itu menyindir. Aku masih lagi diam. Kalau mimpi, tak mungkin senyata ini. Terus lelaki di hadapanku ini sekarang siapa? Pipiku cubit perlahan hendak meyakinkan apakah aku sedang bermimpi atau memang ini nyata, dan Ouh, sakit.
“Hoy, kau kire aku ni hantu sampai kau cubit pipi tu? Ke nak aku yang cubit kan?” Tangan lelaki itu meraih pipiku dan dicubitnya kuat. Haaa, dengan gusar aku menepis tangannya. Walhasil wajahku yang baru bangun tidur ini memerah.
“Sakit,” sungutku, bertambah pula kesal ketika lelaki itu malah tertawa setelah mengerjaiku. Dasar, sudah lama tak bertemu, bukannya sayang-sayangan, malah membuatku kesal di pagi buta, aku mengumpat dalam hati. Ups, pagi buta. Aku langaung melihat ke jendela, di luar sudah terang. Jam berapa ini?
“Jam 10 dah ni, dah siang. Kau nak tidur sampai jam berapa lagi? Papa Mama sebentar lagi sampai” kata lelaki itu dengan berkacak pinggang, seolah dia tahu apa yang aku pikirkan.
“Terserah aku dong mau tidur sampai siang” balasku kemudian melompat ke ranjang tidur.
“Eh, kau ni degil ye. Bangonlah” lelaki itu naik ke ranjang tidurku, dia mengguncang-guncang tubuhku juga menggelitikiku. Haih, nyebelin banget nih orang.
“Abaaaang. Jangan ganggu Anis boleh nggak?” jeritku lagi sembari menyeruak dari balik selimut. Tapi ketika bangun, aku tidak mendapati lelaki itu di kamarku. Dimana dia? Aku menoleh ke pintu kamar yang masih tertutup rapat dan aku menguncinya dari dalam. Tidak mungkin seseorang bisa masuk, kecuali Bibi yang memang memegang kunci cadangan setiap ruangan yang ada di rumah.
Tapi yang tadi itu bukan Bibi, aku belum rabun aku juga sadar sepenuhnya tadi. Dia membangunkanku dengan alarm yang nyaring, menarik selimut juga mengguncang tubuhku. Itu jelas lelaki itu. Lelaki yang setiap hari bayangnya hadir di kepalakaku, yang tersenyum di setiap lembaran buku pelajaranku, bahkan wajahnya hadir di kertas ujianku dan selalu dengan senyum itu. Senyum yang mampu bikin jantung berdetak 100 kali kebih cepat, pipi merona dan berbunga bunga seolah di hati ada taman yang dipenuhi dengan bunga bermekaran.
Lalu yang tadi itu? Mimpikah? Tentu saja. Ada suara berbisik di telingaku seperti itu. Aku menunduk lemas, dan mulai menyadari kenyataan, kenyataan bahwa lelaki itu kini sedang berada sangat jauh dariku. So bagaimana mungkin aku sampai melihatnya ada di kamarku bahkan mengganggu tidurku. Aku juga menyadari betapa besar rindu yang aku simpan untuknya, di saat terpisah jauh seperti ini bahkan di saat dia benar benar dekat dariku.
Dengan malas aku bangkit dari ranjang tidur dan pergi ke kamar mandi. Sepuluh menit kemudian, aku sudah dengan riang gembira menuruni anak tangga yang membawaku ke lantai bawah. Soundtrack drama Korea I Hear Your Voice ‘Sweet Lalala’ mengalun dari mulutku meski dengan pengucapan lirik yang belepotan. Aku suka lagu itu. Mengingatkan aku dengan Park So Ha yang tinggi dan tampan. Dia adalah pria ketiga yang menarik perhatianku setelah Papa dan Abang Naz.
Oh My God!! Aku berhenti mendadak, juga soundtrack drama koreanya. Bagaimana tidak, tepat di depanku, berdiri seorang lelaki yang datang ke mimpiku tadi, dengan memeluk tubuhnya, mendongak menatapku seolah menanti kedatanganku. Ya Allah, apakah ini masih mimpi? Aku mengerjap mata berulang kali dan sosok itu masih ada tepat beberapa langkah di depanku. Jika ini mimpi, aku harap agar ini cepat berakhir. Semakin lama aku melihatnya, aku tak yakin aku sanggup menyimpan rindu ini. Ya Allah, bantu hambamu ini, pintaku. Aku melewati saja sosok itu dan menuju dapur.
Di dapur, Bibi tengah sibuk menyiapkan makan siang. Ya lah, sebentar lagi Papa Mama akan tiba, pasti mereka lapar setelah beberapa jam perjalanan dari Bogor.
“Masak apa Bi? Serius banget” tanyaku lalu duduk di kursi kecil sembari memperhatikan Bibi yang lihai memasak.
“Mau masak kepiting pedas, sayur sop. Itu Bibi juga sudah buat cake pisang, spesial” Bibi dengan antusias menjawab, tangannya terus saja memotong sayur, wortel, dan kentang. Spesial? Aku jadi penasaran, apa yang spesial seperti kata Bibi. Spesial karena hari ini Papa Mama pulang? Ah, tidak mungkin. Mereka bukan pergi lama, 2 hari saja, jadi tidak mungkin spesial hanya karena itu. Lalu apa yang spesial?
“Memangnya apa yang spesial Bik?” tanyaku.
“Haih, pastilah spesial. Anis tak rasa ada yang spesialkah?” Bibi pula bertanya, aku pun jadi tambah bingung dan penasaran. Memangnya apa sih yang spesial?
“Bi, spesialnya apa?”
“Anis tak bertemu abang di depan?”
“Abang? Abang siapa?”
“Haa, memangnya ada berapa abang yang Anis punya?”
Aku menatap Bibi tajam. Bibi ni kalau bicara yang jelas dong. Abang Naz satu-satunya abang yang aku punya, itu pun bukan abang sebenarnya.
“Abang Naz kamulah sayang, tak jumpa?”
“Maksud Bibi Abang Naz ada di rumah ini?”
“Ya lah. Abang kamu baru tiba dari Bandara. Mungkin dia lagi di kamar, makanya kamu tak jumpa”
Secepat kilat aku melesat ke ruang tengah. Ya Allah, ternyata tadi bukan mimpi, batinku dengan senyum yang sudah pula terkembang.
“Abaaaang..” panggilku pada lelaki yang tak nampak batang hidungnya. Suara langkah kaki dari arah tangga membuatku berbalik dan lelaki itu benar ada di hadapanku sekarang.
“Abang!” jeritku lalu tanpa rasa sungkan aku berhamburan memeluknya. Memeluk lelaki itu erat seakan aku tidak akan melepasnya lagi.
“Eh, lepaslah, rimas” kata lelaki itu, tapi aku tak peduli, aku malah memeluknya semakin erat. Ini berbanding terbalik dari sikapku pada lelaki ini biasanya. Biasanya kami ibarat anjing dan kucing, berkelahi tak berkesudahan. Ada saja yang aku dan Abang Naz buat masalah, hingga menimbulkan pertengkaran.
“Yuhanis Abdullah, dah pekak kau? Tak dengar apa aku cakap?”
Aku langsung melepas pelukanku, dan menatap tajam Abang Naz. Baru aja jumpa, udah ngajak berantem. Emang dasar lelaki ini.
“Gimana abang boleh ada di sini?”
“Kenapa? Kau tak suka aku balik?”
“Ish, ada Anis bilang nggak suka abang pulang? Nggak ada kan?”
“Abis tu, kenapa tadi lewat je, macam tak nampak ada orang di depan ni?”
“Alaah, Anis tadi lagi mimpi, jadi Anis kira abang cuma…” aku tak menyambung kalimatku, ‘Anis kira abang cuma bagian dari mimpi, karena Anis lagi mimpiin abang. Begitu sambungan kalimat yang tak aku ucapkan.
“Cuma apa? Apa?”
Ting! Tong! bunyi bel mengagetkanku. Pikiranku langsung tertuju pada Papa dan Mama. Pasti mereka, batinku, lalu pergi menuju pinti. Abang Naz tampak tersenyum, tapi aku tak bisa menebak senyum apakah itu, senyum sinis atau senyum tulus seperti yang sering aku lihat di buku pelajaran mau pun di mimpiku. Aku membuka pintu dan bersiap teriak ‘selamat datang’ pada Papa Mama, tapi dugaanku salah. Bukan mereka, melainkan seorang pengantar paket dan sebuah kotak besar sudah berdiri di depan pintu.
“Dik, ini ada paket” kata petugas pengantar paket itu.
“Tapi Papa Mama saya nggak ada pak” kataku, Ya lah, yang biasa dapat kiriman paket kan mereka.
“Ini paket untuk Adik. Nama Adik Yuhanis Abdullah kan?” petugas yang ramah itu mentebut namaku, aku pun mengangguk meski ragu.
Siapa pula yang mengirimiku paket. Ulang tahunku sudah sebulan yang lalu, tidak mungkin ini hadiah ulang tahun. Lagi pula hadiah ulang tahun apa sebesar ini? Aku memandang kotak besar dan tinggi di depanku ini. Pengantar paket tadi bersama temannya membantu membawakan kotak besar ke dalam rumah. Sepertinya berat sekali. Kotak ini dihiasi oleh pita pink. Aku semakin penasaran dengan apa yang ada di dalam, dan siapa yang mengirim hadiah besar untukku. Aku memoleh Abang Naz, lelaki itu sepertinya tak peduli dengan kotak itu atau mungkin dia tak tertarik sama sekali. Aku membuka kotak itu dan ouh, aku menutup mulutku dengan kedua tangan. Bulat mataku memandang noneks berwarna biru yang terkenal dalam film kartun Jepang itu. DORAEMON. Siapa pula yang baik hati mengirimkan boneka ini? Bagaimana dia tau kalau aku suka Doraemon? Lalu dalam rangka apa pula dia mengirimiku boneka ini?
“Suke tak?” tanya Abang Naz
“Haa apa?” tanyaku lagi hendak memastikan apa yang aku dengar tadi.
“Tu lah, ade telinga tak dikorek. Orang cakap pun tak dengar lagi” sindir Abang Naz, membuatku kesal dan manyun. Suka banget dia mengejekku, padahal aku bukannya tuli.
“Selamat ulang tahun Yuhanis Abdullah” kata Abang Naz kemudian. Betapa terkejutnya aku karena hadiah ini dari Abang Naz. Aku langsung memeluk boneka doraemon itu erat, seolah aku memeluk Abang Naz. Bahagia. Ternyata boneka itu darinya. Berarti Abang Naz tidak lupa ulang tahunku, dia bahkan sengaja memberikan kejutan. Bahagianya.
“Thanks abang” ujarku yang dibalas senyum olehnya. Beberapa menit kemudian, pintu rumah dibuka dari luar, wajah Papa dan Mama muncul dari balik pintu.
“Papa Mama!” Aku berlari menghampiri orangtuaku.
“Ye sayang, sayang sehat?”
“Sehat sangat, sangat” jawabku cepat lalu melirik Abang Naz. Tentulah aku sehat. Orang yang paling aku rindukan kini sudah kembali ke rumah.
Aku bisa melihat dia setiap hari, melihat senyumannya, meski ada dia di rumah artinya hidupku tidak akan tenang karena dia akan membuatku kesal sepanjang hari. Tapi aku tak peduli, aku bahagia sekarang, bahagia sekali. Bagiku, Abang Naz adalah kado spesial ulang tahunku. Dia lebih spesial dibanding boneka doraemon pemberiannya yang juga boneka kesukaanku. Abang Naz bagai kado untukku, spesial. Kado Spesial.


Cerpen Karangan: Nurhayatieshabilla
Nurhayatieshabilla, sebelumnya aku pernah mengirim cerpen kesini, “Sorry, I love U” atas nama Nurhayatie. Seorang Mahasiswa yang bermimpi mau jadi penulis, 21 tahun, hobi nulis, baca, nonton, dengar musik plus nyanyi, penyuka drama Korea, Malaysia. Anak Melayu. IG Nurhayatieshabilla, terima kasih.

sumber: http://cerpenmu.com/

Mengubur Mimpi

0

Mengubur Mimpi

“Alhamdulillah Ujian Nasional selesai,” aku tersenyum puas.
Mata ini mulai berani menatap matahari kembali dengan sunggingan senyum kepuasan. Aku merasa belajarku tidak sia-sia karena soal-soal ujian nasional dapat diselesaikan tanpa harus menggadaikan keimanan seperti mayoritas teman-teman. Sekarang tugasku hanya menunggu pengumuman kelulusan.
Rakhmawati Namaku. Wati adalah nama panggilanku. Nama yang cukup singkat namun memiliki makna yang begitu mendalam. Aku adalah anak yatim piatu. Sejak berumur 8 bulan aku dibesarkan oleh eyang yang begitu menyayangiku. Setelah kepergian orangtuaku karena kecelakaan. Aku tak pernah melihat orangtua kandungku hanya foto yang aku dapatkan. Sedih bukan? Kadang Perasaan iri muncul ketika penerimaan raport. Bagaimana tidak, melihat teman-teman begitu senangnya menebar senyum saat orangtua mereka datang ke sekolah.
Namun itu tak akan pernah menyurutkan mimpiku untuk menuju sukses. Apalagi pesimis. Yah aku merupakan siswi kelas XII di SMA ternama di daerah tempat tinggalku, SMA N 1 DARMA. Ada semangat optimis akan lulus UN juga beasiswa Harvard University yang sudah aku ikuti tesnya bersama beberapa teman lain. Yah aku begitu menyukai dunia kesehatan sehingga aku sangat berambisi untuk menjadi dokter.
Aku dikenal sebagai siswi teladan dengan segudang prestasi. Kecantikanku yang natural tanpa polesan kerap mendatangkan pujian tak diundang. Aku dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang agamis. Yah Kakekku yang aku panggil eyang kakung dulunya adalah seseorang yang masa mudanya dihabiskan untuk menjadi seorang santri di Gontor Jawa Timur. Namun entah kenapa Allah belum memberikanku hidayah untuk mengikuti jejak eyang kakung. Hanya satu yang selalu terbayang di mimpi adalah menjadi seorang dokter lulusan Universitas Tingkat dunia. Bagaimana lagi kalau bukan Harvard University. Aku pun tak memiliki alasan pasti kenapa kampus luar negeri menjadi pilihan pertamaku. Yang jelas tekadku sangat kuat menjadi seorang dokter yang nantinya dapat mengabdi pada masyarakat sekitar.
Sang malam telah pergi dan pagi pun menjemputku dengan sangat indah. Titik-titik embun membasahi daun-daun di luar jendela. Aku masih berada di kamar tepatnya di depan cermin. Ku tatap wajahku berkali-kali di cermin, bayangan itu tersenyum manis. Anggun sekali. Gaun cokelat muda yang biasa orang menyebutnya kebaya melipat rapi di tubuhku, tak ketinggalan dengan beberapa hiasan sederhana memperindah kepalaku yang terlindungi oleh jilbab putih dengan sedikit corak batik. Hari ini aku akan wisuda SMA bertepatan dengan pengumuman beasiswa. Mudah-mudahan Engkau mewujudkan mimpiku Ya Allah.. Aamiin.
Kursi wisudawan dan para wali murid telah penuh. Aku duduk paling depan bersama Sukma teman seperjuanganku meraih mimpi di negeri paman sam. Sambutan Kepala Sekolah pun berlangsung. Ucapan puji syukur kami panjatkan serempak setelah mengetahui bahwa SMA favorit ini lulus UN 100 persen. Aku pun mengucapkan hamdallah dan tersenyum pada Nenek yang terlihat dari jauh. Namun senyum yang tadinya mengembang tiba-tiba mengkerut dikalahkan oleh energi detak jantung yang semakin kencang tatkala telinga ini mendengar Kepala Sekolah mengumumkan beberapa siswa yang mendapatkan beasiswa keluar negeri.
Ya, aku hampir tak percaya namaku disebutkan pertama kali “RACHMAWati kelas XII IPA 1 dengan Nomor induk 10444 mendapatkan beasiswa untuk menempuh pendidikan sarjana Fakultas Kedokteran Harvard University,” aku masih terdiam. Jantungku semakin kencang berdetak. Buku-buku jari tangan seolah tak dapat aku kendalikan. Pipi ini panas layaknya di depan api unggun dengan ketinggian 60 meter. Aku mulai mengatur napas. Senang sekaligus tidak percaya. Sukma memelukku. Air mataku menetes di pipi menghapus make up tipis yang sempat ku oles tadi pagi.
Mata yang dipenuhi tangis bahagia ini mencari-cari sosok Nenek namun tak aku temukan. Kakek pun juga tak ada. Teman-teman di sekitarku mengucapkan selamat atas kesuksesanku. Aku dipersilahkan menuju panggung. Ternyata Presiden Obama ada di sana. Beliau memberikan penghargaan spesial. Ya sebuah perunggu perak berlapis emas. Subhanallah aku begitu bahagia sekali. Melihat banyak mata semua tertuju padaku. Aku begitu salting dan nervous dengan beberapa kamera dan stasiun televisi swasta yang sangat antusias mengambil gerak-gerikku di sini.
Aku bangga, lengkap sekali kedua tangan ini memegang penghargaan. Kini tiba saatnya aku memberikan sambutan atas kesuksesanku untuk Kakek dan Neneku tercinta meski mata ini tak ku dapati melihat mereka yang entah kemana. Berkali-kali ku tarik napas dalam-dalam untuk menyeimbangkan rasa grogi dan senang. Bukan main. Ku mulai merangkai kata seindah mungkin tepuk tangan sangat riuh renyah begitu cetar membahana atas apa yang aku sampaikan. Namun seketika itu tepuk tangan hening begitu saja digantikan oleh bunyi sangat keras menggema di telingaku. Mengagetkan sekali.
Kriiinngg…
Suara alarm hp-ku berbunyi sangat keras, sehingga membuat aku terbangun dari tidurku dengan sejuta mimpi indah yang menghiasi.
“Ya ampun, ternyata cuma mimpi,” sesalku sambil menggaruk-garuk kepala yang sebenarnya tidak terasa gatal.
“hmm coba kalau beneran,” khayalku dengan mataku yang masih mengantuk.
“ah daripada aku memikirkan yang tidak pasti lebih baik aku mandi,” ujarku pada diri sendiri.
Tett… Suara bel sekolah membuat para siswa-siswi bersorak ria mendengar bunyi singkat pertanda bahwa aktivitas kegiatan belajar mengajar telah usai. Nampak adik-adik kelas mengemasi peralatan tulis seperti pensil penghapus beserta buku-buku yang mungkin tadi sempat mereka pelajari. Aku hanya melihat dari perpustakaan karena hari ini aku berniat untuk meminjam buku TOEFL untuk memperdalam bahasa inggrisku.
“Wati, Wati..” dengan napas tergopoh-gopoh seseorang yang sangat aku kenal mendekatiku.
“Sukma ada apa kok kaya orang kesurupan begitu?”
“selamat Wati.. selamat… kamu salah satu siswi yang mendapatkan beasiswa keluar negeri,”
“haah.. serius? Becanda kamu. Bukannya pengumumannya nanti malam, itu pun secara online,”
“Tadi Bu Arum menjelaskan kalau pengumumannya dipercepat waktunya, kalau nggak percaya ikut aku sekarang,”
Sukma langsung meraih tangan kecilku dan berlari menuju pengumuman di mading sekolah. Jantungku berdebar tak percaya dengan perkataan sahabatku itu. Aku melotot dan mengerutkan dahi atas apa yang aku lihat, ya benar-benar itu adalah namaku. Tanpa terasa air mataku berlinang dan berpelukan dengan Sukma karena ia juga termasuk siswi yang beruntung sepertiku. Ku cubit tanganku untuk memastikan kalau ini hanyalah mimpi.
“aw.. sakit,” yah ini benar nyata. Ini bukan mimpi. Ternyata mimpi kemarin malam menjadi kenyatan. Ini benar-benar nyata. Aku bersujud syukur ternyata aku akan menjadi mahasiswa internasional. Selangkah lagi cita-citaku tercapai menjadi mahasiswa kedokteran. Allahu Akbar terima kasih atas segala nikmat-Mu Ya Allah.
Segera aku pulang ke rumah. Ku cari-cari sosok Nenek. Ku dapati beliau sedang memainkan kinangnya di kursi goyang tempat favoritnya bersantai. Aku akan menyampaikannya dengan pelan tanpa membuat Nenek kaget. Pasti Nenek akan merasa senang sekali.
“nduk.. sampun wangsul,” tanya Nenek.
“inggih yang… “aku terus menebar senyum yang tak seperti biasanya sambil mencium tangan Nenek.
Tak seperti biasanya masih dengan seragam osis sekolah aku tak langsung menuju tempat makan karena ada kejutan bahagia untuk orang yang selama ini merawat dan membesarkanku.
“yang..” sambil memijit-mijit pundaknya.
“hmmmm..” jawabnya singkat sambil sibuk menginang.
“alhamdulillah Wati dapet beasiswa kuliah di luar negeri. Insya Allah minggu depan berangkat ke Amerika karena pasport visa dan lainnya sudah sekolah yang urus. Wati hanya mohon ridho dan doa restu eyang putri kalih eyang eyang kakung,” Ku sampaikan kabar gembira ini dengan rasa teramat bahagia dengan harapan Nenek pun merasakan hal yang sama.
Tapi… Entah mengapa Nenek tak menanggapi. Hanya diam dan terus diam. Muka keriputnya yang dimakan usia kini berubah merah padam seolah tak ada kata restu di hatinya.
Nenek masih terdiam. Aku menghentikan kedua tanganku memijit pundak Nenek lantaran kedua tangan kasar Nenek memegang tanganku. Ada butiran bening terlihat di sudut matanya. Aku pun tak kuasa menahan air mata ini saat melihat air mata Nenek begitu deras mengalir. Aku bingung, apakah tadi yang ku sampaikan salah atau kurang sopan kah? Hati ini masih bertanya-tanya. Mata yang menua itu kini memerah, mengalirkan air mata yang begitu derasnya. Aku semakin bingung. ada apa ini? Bukankah ini adalah kabar baik? Aku semakin bingung. Apakah Nenek tidak suka kalau cucunya menjadi dokter? Entahlah. Saat hati ini masih dirundung rasa bingung aku mencoba menenangkan hati Nenek dengan mengusap air matanya pada kedua pipi yang keriput.
“yang putri.. kepripun?”
Masih dalam diam.
“yang.” ku ulangi pertanyaanku untuk yang kedua kalinya. Nenek pun mulai menggerakkan mulutnya.
“nduk…” pelan. Seolah mengurungkan niatnya untuk menyampaikan sesuatu.
“inggih yang.. pripun?” kataku semakin penasaran.
“eyang kakung.” dengan tatapan kosong.
“pripun eyang kakung?” aku memusatkan perhatianku pada mata dan gerakan bibirnya tak sabar apa yang akan diucapkan Nenek kemudian.
“semalem eyang kakung bilang, eyang tidak ingin Wati kuliah yang jauh. Eyang ingin agar kuliah yang kental dengan agama islam eyang kakung tidak menginginkan Wati mengejar cita-citanya menjadi dokter mengingat Wati adalah perempuan tidak baik kuliah jauh-jauh sampai ke luar negeri. Apakah Wati tidak kasihan sama eyang yang sudah sepuh ini ditinggal cucu satu-satunya. Eyang begitu menyayangi kamu nduk… eyang tak mau berpisah apalagi selama 4 tahun,”
Deg.. jantung ini seakan berhenti seolah cita-cita yang sudah di depan mata kini terkubur oleh lumpur-lumpur lapindo yang begitu panas hingga rasa panas naik ke permukaan wajah, menjalar ke telinga dan leher. Panas. Air mata ini tumpah seketika. Aku lari menuju kamar. Nenek mencoba menghentikanku namun gagal karena pintu langsung terkunci. Terdengar suara Nenek terus mengetuk pintu kamar. Aku sama sekali tak menghiraukan. Aku menangis dan terus menangis, tidak bisa terima kenyataan ini. Tak mungkin aku kubur mimpi yang sudah lama aku impikan. Masih dengan isak tangisku, menerka kira-kira apa yang menjadi alasan Kakek dan Nenek tak mengizinkanku untuk meraih impianku sejak kecil.
Bukankah cita-citaku ini sangat mulia? Aku ingin mengabdi pada masyarakat, ingin membantu orang-orang yang tak mampu untuk berobat karena kendala dana. Yang nantinya ingin menyejahterakan hidup masyarakat terutama di desa ini. Aku tak ingin kejadian-kejadian yang seperti di koran atau media lainnya banyak orang sakit dibiarkan begitu saja hanya dengan satu alasan. Kenapa? kenapa? tapi kenapa? Aku menjerit di balik bantal hijau ini agar suara tangisku terdengar samar.
Jarum jam menunjukkan pukul 23.00 tak terdengar suara ketukan pintu Nenek lagi, aku masih menangis kecil hingga tak bisa mengeluarkan air mata ini kembali. Mataku merah sembab. Aku lelah berjam-jam meratapi kenyataan tak sesuai dengan impian yang mau tidak mau harus dikubur dengan sebuah alasan. Mata ini seolah tak dapat diajak kompromi. Dan akhirnya… aku pun tertidur.
Matahari mulai memancarkan sinarnya. Kicauan burung-burung seolah berlomba-lomba menyambut hari yang penuh berkah. Kokokkan ayam di belakang rumah tak ingin kalah, bersahut-sahutan terdengar di beberapa tempat.
“Selamat pagi, ayo dong semangat,”
Kalimat yang tak pernah alpa untuk diucapkanku di setiap pagi. Seolah sudah menjadi kebutuhan di pagi hari untuk mengawali aktivitas baru meskipun hati ini masih begitu sedih dengan kejadian kemarin sore. Aku mencoba lebih tegar dan menerima kenyataan meski begitu terasa sulit. Aku lebih nyaman sendiri berada di kamar. Ke luar hanya ketika makan dan salat. Sedikit kesal memang pada Nenek dan Kakekku. Bagaimana tidak, keberangkatanku hanya dalam hitungan hari untuk menuju ke Amerika. Aku kembali menangis. Sinar mentari yang tersenyum cerah menjadi saksi seolah nasibnya begitu kontra. Betapa senangnya Sukma yang masih memiliki orangtua yang lengkap dan menyetujui anaknya untuk menempuh pendidikan di Amerika. Aku terus meratapi nasib.
Tok, tok, tok. Terdengar bunyi pintu kamar diketuk.
“nduk… sarapan rihin,” suruh Nenek dari luar pintu kamar.
“mboten pengin maem yang,” jawabku.
“mangke sakit,” sambil terus mengetuk pintu. Berharap agar cucunya mau membukakan pintu.
“mboten nopo!” jawabku singkat sambil membunyikan radio keras-keras.
“nduk cah ayu buka pintunya,” kalimatnya begitu tulus dan sabar namun aku tak mempedulikan perkataan Nenek. Karena mereka pun tak pernah mau mempedulikan perasaanku sekarang.
Musik radio yang tadinya meninggi kini semakin lirih dipadukan dengan ocehan penyiar radio bahwa kali ini radio FM Remaja Sentosa Ilmu akan memberikan tausiyah dari ustadzah Anisa.. aku masih setia mendengarkan radio ini untuk membuang perasaan yang sedang bercampur aduk tidak karuan.
Kali ini topiknya tentang berbakti pada orangtua:
“assalamualaikum pendengar setia radio remaja FM sentosa Ilmu. siapakah orangtua kita?” pertanyaan pertama ustadzah untuk memulai pembukaanya.
“Apakah hanya Ibu yang melahirkan kita saja ataukah Ayah yang setia mencari nafkah untuk kita? Yah, tentu saja bukan. Orangtua kita bukan hanya Ibu kandung bahkan Ayah saja namun Kakek Nenek kita pun termasuk orangtua yang wajib dan harus kita patuhi terlebih Kakek dan Nenek yang sudah menjadi pengganti orangtua kandung kita,”
Aku mengeryitkan dahi, memusatkan pendengaran dan konsentrasi. Sejujurnya hati ini sedikit tersindir.
“Sebagai seorang anak, sudah seharusnya kita berbakti kepada orangtua. Jika kita lihat jasa-jasa yang telah diberikan orangtua kepada kita, tentunya kita tidak akan dapat membalas kebaikan yang telah mereka berikan. Mereka dengan ikhlas merawat kita hingga kita tumbuh dewasa, mereka tidak mengharapkan imbalan apapun kecuali agar anaknya dapat sehat dan menjadi anak yang saleh dan saleha. Sampai kapan pun seorang anak tidak akan dapat membalas budi orangtua.”
“Kewajiban berbakti kepada orangtua tidak semata-mata karena jasa yang telah mereka berikan, melainkan juga karena perintah Allah taala. Seperti yang tercantum dalam QS An-nisa ayat 36, ‘sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Dan berbuat baiklah kepada orangtuamu,’ … jadi kesimpulan dari tausiyah hari ini, intinya apapun yang orangtua kita inginkan maka patuhilah permintaan beliau selagi permintaan itu tidak melanggar syariat islam.”
“Karena keinginan orangtua kepada kita pastinya memiliki sebuah alasan yang jelas. Kita tak akan pernah tahu kapan kematian orangtua kita datang. Jadi berikanlah kebahagiaan pada orangtua kita. Doakan agar Allah senantiasa melindungi mereka. Mengampuni dosa-dosanya. Sayangilah mereka sebagaimana mereka menyayangi kita di waktu kecil. Robbighfirli waliwalidaya warhamghuma kama robbaya nishoghiroh.”
Ustadzaha anisa fitri mengakhiri tausiah singkatnya denga doa untuk orangtua.
Tanpa terasa cairan hangat berwarna bening di pelupuk mataku tumpah. Sungguh tersentuh hati ini. Ya Allah ampuni hambamu ini yang berlumur dosa. Hamba begitu egois hamba begitu tak pernah memperhatikan perasaan beliau yang tua renta, hamba tahu sekarang. Mereka pasti ingin agar aku cucu satu-satunya bisa selalu menemani hari-hari di sisa umurnya. Allahurobbi ampunilah hamba.
Aku mencoba mengikhlaskan semua. Aku lupakan semua mimpi-mimpi indahku demi untuk berbakti pada orangtua. Ku kubur dalam-dalam. Kemarin adalah keberangkatan Sukma ke Amerika. Aku tetap mengucapkan kepadanya selamat sukses dan agar tetap berhati-hati. Bu Arum pun sudah menerima surat pengunduran beasiswa dariku.
“mungkin saja Sukma sudah sampai di Amerika, selamat Sukma,”
Baiklah aku tak akan meratapi diri. Aku akan tetap kuliah di indonesia sesuai dengan keinginan eyang. Aku mencoba menghibur diri dengan menonton televisi. Ku ganti beberapa channel stasiun Tv karena menurutku tak ada yang menarik. Terakhir ku ganti kemudian dengan chanel Top Edu Tv. Dan… Aku mempertajam penglihatan, ku pelototi dan menambah volume beberapa level agar pendengaranku semakin jelas. Tiba-tiba pandanganku gelap. Aku pun pingsan.

Fajar mulai menyingsingkan diri. Sebagai cucu semata wayang, Wati tidak pernah merasakan kekurangan kasih sayang Kakek dan Nenek. Aku bersyukur atas nasihat-nasihat eyang. Mungkin saja kalau aku menerima beasiswa itu aku tak diketahui keberadaannya sekarang bahkan mungkin berada di liang kubur.
“dados pripun niku kabar kancamu dek?” Eyang kakung berbicara.
Sampai sekarang belum juga ditemukan. Pesawat yang terbang ke arah barat menuju Amerikan jatuh ke laut termasuk Sukma teman Wati tapi semua sudah ada pihak berwajib sedang mendeteksi semua masalah ini. Mudah-mudahan jasadnya bisa segera ditemukan,” Jelasku sambil lemas dan masih terbaring di kamar. Air mata ini terus mengalir.
“nduk minta maaf eyang putri yang kakung nggih… atas sikap nduk beberapa hari ini dengan mengurung di kamar yang tak seharusnya dilakukan oleh gadis berjilbab sepertiku. Karena kemarin Wati belum bisa menerima kenyataan. Namun karena hidayah Allah kini Wati sadar, apa yang Wati lakukan selama ini tidak benar jadi Wati berniat untuk menjadi seoarang anak yang saleha seperti impian eyang. Mungkin saja kalau Wati tak mendengarkan nasihat eyang sekarang sudah mengalami nasib sama seperti Sukma.”
“sstt, ngomong opo toh nduk? Itu semua memang sudah takdir eyang pun sudah memaafkanmu kok nduk. Iya to,” Jawab Nenek sambil melihat ke arah eyang kakung.
“iyooo… putu sing paling ayu dewek hehe,” ledek eyang kakung.
Kami semua pun tersenyum dengan sedikit tawa.
“Yang… Insya allah Wati akan kuliah di UIN SUKA Yogyakarta jurusan pendidikan agama Islam, mungkin itu tak terlalu jauh dari tempat tinggal kita yang meskipun nanti harus kos,”
Terlihat senyum Kakek dan Nenek begitu bahagia, sangat jauh berbeda ketika kabar baik beasiswa luar negeri itu yang pernah aku sampaikan sebelumnya.
“Kalau eyang setuju-setuju saja, tapi ada sedikit rasa khawatir. Kamu perempuan. Keluarga di sini semua,”
“Insya Allah perlindungan Allah akan tetap bersama nduk. Jadi, nduk harap jangan khawatir nggih,”
Eyang pun menyetujui dengan menganggukkan kepala yang kemudian meninggalkanku untuk menunaikan salat.
Pengumuman penerimaan mahasiswa baru berlangsung hari ini yang dapat dilihat secara online. Alhamdulillah nama RACHMAWATI diterima di pendidikan Agama Islam UIN SUNAN KALIJAGA Yogyakarta betapa senangnya diterima di kampus dambaan Kakek dan Nenek karena kebahagiaan mereka adalah kebahagiaanku juga.
Glosarium:
Cah ayu: anak yangg cantik
Dados: jadi
Eyang kakung: kakek
Eyang putri: nenek
Inggih: iya
Kalih: dan
Kanca: teman
Kepripun: kenapa
Kinang: makanan dari daun sirih untuk nenek-nenek
Mangke: nanti
Mboten nopo: tidak apa-apa
Nduk: panggilan sayang kepada anak/cucu
Nik : itu
Ngomong opo toh: bilang apa sih
Rihin: duluan
Sampun: sudah
Sepuh: tua sekali
Wangsul: pulang


Cerpen Karangan: Rum Efi Fitriani
Facebook: R Efi Fitriani
E-mail: evi.semangat[-at-]gmail.com
Aku penulis pemula. Baru belajar menuangkan kata-kata. Butuh motivasi baru. Butuh inspirasi baru. (Mahasiswi Pendidikan Matematika UHAMKA Jakarta)
luvne.com ayeey.com cicicookies.com mbepp.com kumpulanrumusnya.com.com tipscantiknya.com